WARUGA bagi orang Minahasa kuno sangat erat kaitannya dengan kehidupan
setelah kematian. Bahkan menurut tulisan di salah satu blog (tonsea)
disebutkan, para leluhur dapat mengetahui kapan hidup mereka akan
berakhir, dan sehubungan dengan itu mereka mengangkat sendiri bongkah
batu besar untuk kuburan mereka.
Caranya, dengan tangan kanan
memegang batu yang disungai di atas kepala, sambil berjalan kaki menuju
ke tempat yang mereka tentukan sendiri sebagai lokasi kubur, tangan kiri
mereka menangkap ikan di sungai-dengan tangan kosong. Setelah sampai di
tempat yang mereka pilih, batu itu akan menjadi kuburan si pembawanya.
Kuburan batu berukuran lebar 50 cm hingga satu meter, panjang 50 cm
hingga satu meter, dan tinggi sekitar satu meter itu disebut waruga.
Balok batu tersebut berongga, dan di dalam rongga itulah orang-orang
kuno Minahasa dikubur dalam posisi jongkok. Sebagai penutup bagian atas,
digunakan penutup batu yang berukir atau berpahat keterangan atau
profesi si mayat sebelum meninggal.
Disebutkan juga, tutup itu
berpahat atau berukir binatang menandakan mayat yang dikubur di dalam
waruga itu semasa hidupnya adalah seorang pemburu. Yang bermotif
perempuan yang sedang melahirkan menandakan mayat yang dikubur di dalam
waruga tersebut semasa hidupnya adalah seorang dukun beranak.
Sementara,
penutup yang bermotif beberapa orang sekaligus menandakan yang dikubur
di dalam waruga itu adalah satu keluarga utuh, yang meninggal dan
dikubur satu persatu. pula cungkup yang polos, tanpa ukiran dan pahatan
apa pun. Cungkup polos itu menandakan waruga berusia jauh lebih tua
dibandingkan waruga lainnya, berusia lebih dari 1.200 tahun. Pada zaman
itu, budaya mengukir dan memahat cungkup dengan keterangan atau profesi
belumlah "ngetrend".
Di dalam setiap waruga, si jenazah
dikubur dalam posisi jongkok di atas benda-benda bekal kuburan, yang
dapat berupa parang, gelang, manik-manik, piring, padi, uang benggol,
mangkuk, sendok, kolintang, dan beberapa benda lain. Namun, kini tidak
ada lagi benda-benda bekal kuburan yang dapat dijumpai di dalam waruga,
karena benda-benda itu sudah diamankan di museum.
Kata waruga merupakan gabungan dari dua kata, yakni wale dan maruga. Wale berati rumah, dan maruga
berarti badan yang akan menjadi hancur. Sementara, posisi jongkok mayat
yang dikubur di dalam waruga erat kaitannya dengan posisi bayi yang
jongkok di dalam rahim ibu. Filosofinya, manusia mengawali kehidupan
dengan posisi jongkok, dan semestinya mengakhiri hidup dengan jongkok
pula.
Filosofi ini disebut whom.
Di seluruh Minahasa tersebar sekitar 1.700 waruga di beberapa kompleks
waruga, yang terkonsentrasi di bagian utara Minahasa. Sebagian besar
waruga merupakan kuburan prajurit perang (waraney) dan tokoh masyarakat (walian).

sumber :arkeologi.web.id
foto : berbagai sumber
tou minahasa
10:30:00 AM
Ba Cerita
Indonesia
Waruga Bagi Tou Minahasa
WARUGA bagi orang Minahasa kuno sangat erat kaitannya dengan kehidupan
setelah kematian. Bahkan menurut tulisan di salah satu blog (tonsea)
disebutkan, para leluhur dapat mengetahui kapan hidup mereka akan
berakhir, dan sehubungan dengan itu mereka mengangkat sendiri bongkah
batu besar untuk kuburan mereka.
Caranya, dengan tangan kanan
memegang batu yang disungai di atas kepala, sambil berjalan kaki menuju
ke tempat yang mereka tentukan sendiri sebagai lokasi kubur, tangan kiri
mereka menangkap ikan di sungai-dengan tangan kosong. Setelah sampai di
tempat yang mereka pilih, batu itu akan menjadi kuburan si pembawanya.
Kuburan batu berukuran lebar 50 cm hingga satu meter, panjang 50 cm
hingga satu meter, dan tinggi sekitar satu meter itu disebut waruga.
Balok batu tersebut berongga, dan di dalam rongga itulah orang-orang
kuno Minahasa dikubur dalam posisi jongkok. Sebagai penutup bagian atas,
digunakan penutup batu yang berukir atau berpahat keterangan atau
profesi si mayat sebelum meninggal.
Disebutkan juga, tutup itu
berpahat atau berukir binatang menandakan mayat yang dikubur di dalam
waruga itu semasa hidupnya adalah seorang pemburu. Yang bermotif
perempuan yang sedang melahirkan menandakan mayat yang dikubur di dalam
waruga tersebut semasa hidupnya adalah seorang dukun beranak.
Sementara,
penutup yang bermotif beberapa orang sekaligus menandakan yang dikubur
di dalam waruga itu adalah satu keluarga utuh, yang meninggal dan
dikubur satu persatu. pula cungkup yang polos, tanpa ukiran dan pahatan
apa pun. Cungkup polos itu menandakan waruga berusia jauh lebih tua
dibandingkan waruga lainnya, berusia lebih dari 1.200 tahun. Pada zaman
itu, budaya mengukir dan memahat cungkup dengan keterangan atau profesi
belumlah "ngetrend".
Di dalam setiap waruga, si jenazah
dikubur dalam posisi jongkok di atas benda-benda bekal kuburan, yang
dapat berupa parang, gelang, manik-manik, piring, padi, uang benggol,
mangkuk, sendok, kolintang, dan beberapa benda lain. Namun, kini tidak
ada lagi benda-benda bekal kuburan yang dapat dijumpai di dalam waruga,
karena benda-benda itu sudah diamankan di museum.
Kata waruga merupakan gabungan dari dua kata, yakni wale dan maruga. Wale berati rumah, dan maruga
berarti badan yang akan menjadi hancur. Sementara, posisi jongkok mayat
yang dikubur di dalam waruga erat kaitannya dengan posisi bayi yang
jongkok di dalam rahim ibu. Filosofinya, manusia mengawali kehidupan
dengan posisi jongkok, dan semestinya mengakhiri hidup dengan jongkok
pula.
Filosofi ini disebut whom.
Di seluruh Minahasa tersebar sekitar 1.700 waruga di beberapa kompleks
waruga, yang terkonsentrasi di bagian utara Minahasa. Sebagian besar
waruga merupakan kuburan prajurit perang (waraney) dan tokoh masyarakat (walian).

sumber :arkeologi.web.id
foto : berbagai sumber
Suka Artikel Ini? Silahkan Share di Media Sosial Anda :)